DRAMA DI IMIGRASI JEPANG



You..! You..! You..! And You! You..too.. And You!
Bapak itu menghentikan langkahku dgn tunjukan jarinya disaat menuju gate imigrasi bandara Osaka sore itu. Penumpang penerbangan Air Asia sore itu di pilih untuk random check, sebuah rutinitas imigrasi. Enam orang, aku diantaranya diarak menuju finger scan biometrik. Setelah mengambil passport dan data kami, petugas imigrasi meminta kami mengikuti ke ruangan. Di dalam ruangan ukuran 6x4 kami di minta duduk menunggu. Ruangan screening.
Positif! hatiku berkata aku kena random check. Hal yg sangat ku khawatirkan terjadi, dan terjadi. Enam orang itu 3 rombongan, 3 sendiri sendiri. Aku termasuk dalam 3 org yg jalan sendiri. Semuanya dari Indonesia, masih muda dan produktif.
15 menit kemudian bapak itu kembali memanggil kami satu persatu diminta membawa dokumen pendukung untuk di bawa ke ruangan lain, 20 menit berlalu salah satu dari 3 org rombongan itu kembali, bahasa tubuhnya kecewa, wajahnya murung. Gmana? Tanyaku.. Di minta balik besok pagi ke Indonesia jawabnya lemah. Omg.. Deportasi!
Orang kedua, ketiga, keempat dan kelima, saat kembali semuanya sama. Diminta balik besok ke Indonesia. Semua di deportasi! Mulailah berdebar ini hati, namaku tak kunjung dipanggil. Bermacam pertanyaan berkelebat, aku tak juga dipanggil.
"tadi ditanya apa saja"? Tanyaku pada 3 org rombongan itu. "Anu mas.. Ini itinerarinya katanya bukan jalur wisata kebanyakan, itin kami dari Osaka mau ke Nagasaki, trus ke Tokyo balik lagi ke Osaka" jawabnya. Padahal hotel sudah full payment, JR pass 7 hari, tiket balik lengkap. tambahnya. 
Tambah bergetar hati ini, suara debarannya makin membuat ngilu gigi mengingat hotelku hanya di Osaka dan Tokyo saja yg full payment, Kyoto bayar ditempat dan Kawaguchi belom di pesan. 
"Itu pake passport biasa atau e passport"? E passport mas jawabnya. Yes! Disini aku sedikit berharap, passportku biasa, dan visa ku kunjungan sementara. Mungkin ini kenapa aku tak kunjung dipanggil, mereka masih menimbang nimbang ku jawab sendiri pertanyaan hiburan itu.
"Trus sudah ke negara mana saja?, kami berdua baru ke Jepang ini saja, belom ada stempel, kalo dia sudah ke Singapore dan Malaysia, jawabnya sembari menunjuk temannya yg di ujung.
Ku palingkan pandangan ke jam dinding Waktu sdh berlalu 1 jam 30 menit dari pertama kami di sandera. "Sudah habis berapa itu semua? Book hotel ma JR pass? 11 juta mas. Apah! 11jt dan di tolak masuk. "uang bawa berapa"? Kejarku penasaran. Masing masing ¥65.000 jawabnya.
Pintu kaca itu terbuka, seorang wanita paruh baya duduk memegang kertas, rok pendek, kakinya di balut stocking hitam, hak sepatunya tajam menginjak lantai. matanya introgatif, menoleh ke tas kami, mencatat, menoleh lagi mencatat lagi begitu seterusnya. Kami diam dalam kebisuannya. 
Mungkin merasa cukup dia keluar dan berbicara pada petugas yg berjari sakti tadi. Yg menghentikan langkahku. 
Bersambung...
#BIJEPANG
*****
PART II
lama rasanya aku menunggu ketidakpastian ini. Inikah teknik introgasi? Membuat lelah pikir dan mental. Mereka bermain bad and good cop? Pikiran itu terlintas silih berganti. Saat ini aku hanya ingin berbaring di kasur tantami berselimut tebal, melepas penat setelah 7 jam duduk di ruang kursi 79cm Air Asia.
Waktu tak pernah menghianati, giliran ku tiba jua. bapak itu membuka pintu dan menunjukku, memberi isyarat untuk mengikutinya, aku bergegas berdiri mengikutinya dari belakang, berjalan menyusuri lorong. Suasana lorong sedikit temaram menambah horor suasan yg sudah horror. Dia berbelok ke kiri kemudian ke kanan menuju ruangan agak kecil dari ruangan aku menunggu tadi.
Ruangan ini sekitar 4x4 meter, hanya ada 1 lampu TL menerangi. Sebuah meja di lengkapi 2 kursi berhadapan, diatasnya ada alat elektronik berbentuk kotak, ku perkirakan ini alat rekam pembicaraan kami nanti. Di pojok ruangan lemari besi arsip tua melengkapi.
Dia mempersilahkanku duduk. Bapak itu menekan tombol angka di alat elektronik itu dengan tangan kanan, tangan kirinya menutupi kode angka yg ditekan sepertinya dia tak ingin aku tau nomor yg di tekan. Sejenak kemudian nada tuts terdengar dua kali, di seberang sana terdengar suara wanita berbicara bahasa Jepang. Aku beringsut memperbaiki duduk ku, ini ternyata telepon meja dengan speaker. Aku akan di konfirmasi dengan pemilik hotel! Dag dig dug hati ini, kuyakinkan diri bahwa memang aku benar telah memesan kamar, dan bukan bohong. Tapi jika semua hotel di confirm, mati aku, di Kawaguchi aku belom memesan hostel, tapi nama hostelnya sudah ku cantumkan di itin. Mereka berbicara sejenak kemudian wanita itu berbicara bahasa Indonesia dengan logat Jepang padaku. Oalaaaaah… translator toh, ku sangka bapak ini jago beringgris ria, ternyata dia butuh translator untuk introgasi ini, hatiku sedikit tenang, karena bahasa inggrisku apa adanya juga. Dan ketakutan konfirmasinya ke pihak hotel tidak terjadi.
“apa pekerjaanmu?... suara wanita di seberang itu bertanya.
“aku Graphic Designer” jawabku cepat…
Wanita itu menerangkan jawabanku dengan bahasa jepang dengan introgator, menjelaskan jawabanku, begitu seterusnya.
“berapa gajimu ?..
Busyet! Nanya gaji! Bayaranku sebagai graphic designer naik turun dan tak tepat di sebut gaji, sepersekian detik otakku menakar nakar angka yg bisa diterima dan masuk akal, 5 juta? 7, atau 10?
“10 juta! Jawabku cepat…
Bapak itu menulis di kertas jawabanku setelah di terangkan wanita yg entah diruangan mana dia berada. Tulisan kanji aku tak bisa mengerti. Mereka kembali bercakap bahasa Jepang sepertinya sebuah pertanyaan dari bapak itu.
“ke Jepang mau kemana saja?....
“Ke Osaka, Kyoto, Kawaguchi, terakhir Tokyo” jawabku mantap. 
“Di Jepang berapa hari dan tinggal dimana?...
“saya Sembilan hari, di Osaka 2 malam, di Kyoto 2 malam, di Kawaguchi 1 malam, di Tokyo 4 malam. Saya tinggal di hostel” jawabku
“sudah pesan hotel?...
“di Osaka sudah saya bayar, di Kyoto sudah pesan belum bayar karena bayar ditempat, Kawaguchi juga belum bayar, tapi di Tokyo sudah”…
Aku memang sengaja tdk membayar semua hostel yg ku pesan, mengantisipasi kerugian jika saja saya nanti di tolak masuk.
“di Osaka mau kemana saja?... lanjutnya
“mau ke Universal Studio”…
“Ngapain ke US?.. lanjutnya.
“hmm… mau foto di bola dunia US” jawabku sekenanya, ke US tidak ada dalam rencanaku, tapi hanya itu jawaban cepat yg ku ketahui. “aku koleksi foto foto US, tahun lalu aku ke US Singapore” aku menambahkan berharap bisa meyakinkan mereka.
Wanita itu menerangkan jawabanku pada bapak itu, mereka berbincang sejenak, jeda translate ini, jeda beberapa detik ku gunakan untuk me reka-reka jawaban selanjutnya jika di kejar. Dan benar saja pertanyaan selanjutnya bikin pucat.
“coba lihat foto-foto kamu di US Singapore?....
“oh ya sebentar, aku meraih handphoneku, membuka gdrive, untungnya foto foto selpih tersimpan otomatis di gdrive. Aku mengaturnya demikian. Sial! Ruangan ini tak terjangkau sinyal, hp ku gagal terkoneksi internet dan gdrive tak bisa menampilkan foto foto yg diminta. Aku mencoba sekali kali, mencoba cepat, tapi sinyal tak mau membantu. Bapak itu memperhatikan, “disini tak ada sinyal aku tak bisa membuka foto di drive” aku berbicara pada wanita di seberang sana, sembari memperlihatkan layar hp ku pada bapak didepanku. Dia mencatat sesuatu di kertas, sial..sial.. ini satu catatan kesalahan pikirku liar.
Mereka kembali berbicara berdua..
“ke Kyoto mau kemana?... kembali terdengar pertanyaan dari seberang.
“ke Gion” jawabku cepat.
“ke Gion mau ngapain”
“ mau selpih sama Geisya” jawabku sambil cengegesan. Bapak itu mencatat sambil geleng kepala.
sepertinya jawabanku kurang meyakinkan, tapi aku hanya mencoba jujur dan tidak mau terjerat dengan jawaban yg jelimet, jawaban yang nantinya memunculkan pertanyaan yang bisa menempatkan aku di kesulitan.
Aku berharap ini cepat berakhir....
Bersambung... (maaf ya, updatenya dikit dikit, lelah hayati abang)
*****
Part III, Habis.
Jawaban ku selpih dengan Geisha di Gion ternyata membuka jalan masuk lain pertanyaannya.
“kamu bawa uang berapa mau main dengan Geisha?....
Ups! Cepat aku mengklarifikasi jawabanku sebelumnya, “aku mau selpih saja, bukan mau main, saya sudah punya istri pak”.. bapak itu mengeleng pelan setelah mendengar translate jawaban saya dari wanita di seberang sana, bibirnya tersungging senyum kecil, senyum yg kutafsirkan merasa lucu.
“trus kamu bawa uang berapa….. 
ini inti pertanyaaannya, aku merogoh tak slempangku, tas yg selalu menemaniku kemana saja bahkan ke toilet. Didalamnya uang dan passport yg paling aku takutkan tertinggal, ku keluarkan uang lembaran Dollar USD pecahan $100 dan Yen pecahan 10.000.
Sebagai pejalan kere Aku tak membawa uang banyak, hanya secukupnya sesuai kebutuhan hidup, uangku 7 lembar USD 100, dan 3 lembar Yen 10.000. sengaja aku tak menukar semua dengan Yen, akan kupakai hanya secukupnya, sisanya yg USD bisa ku simpang untuk trip selanjutnya.
Ku hitung pelan di depan bapak itu, lalu ku letakkan di meja semua uangku, “700 dollar dan 30.000 yen, ini uangnya” jawabku. Bapak itu mencatat jumlahnya di pojokan kertas. Dia mempersilahkan memasukkan kembali uangku.
“Setelah ke Gion kamu mau kemana lagi?...
“ke kuil” jawabku cepat. “kuil apa?... tanyanya tak kalah cepat.
“Itu kuil yang ada gerbangnya banyak”… bapak itu menatapku, meminta jawaban yg spesifik. Rasa lapar dan lelah menghambat aliran darah ke otak, kuil Fushimi Inari, ku lupa namanya tepat di saat yg dibutuhkan. “kuil seribu gerbang, Inari… Fushimi Inari! Jawabku bahagia. Bahagia ketika menemukan sesuatu tepat disaat terakhir.
Bapak itu melihat itinerariku, mencatat sesuatu dan kembali melontarkan pertanyaan.
“ke Kawaguchi mau apa?....
“aku mau foto dengan background gunung Fujiyama” jelas ku padanya, kembali dia menggeleng dan tersenyum. Iya, gunung Fujiyama memang prioritas tujuanku, aku sampe menghapal lagu Gunung Fujiyama yg dinyanyikan Titik Sandora, lagu yg membawaku ke masa kecil, masa disaat kebahagiaan bermain. Hari itu aku merasa sudah dekat dengan Gunung Fujiyama, hanya imigrasi yg membatasi pertemuan itu.
“ke Tokyo ngapain?...
“Aku pulang ke Indonesia dari Narita” pesawatku terbang dari sana tambahku, bapak itu kembali mencocokkan jawaban dengan tiket pulangku. 
Kami tenggelam dalam sunyi beberapa saat, hingga dia bicara agak lama dengan wanita di seberang sana. Dia mengeluarkan semua dokumen pendukung saya yg ternyata telah di copy nya, termasuk halaman halaman passport saya yg sudah di stempel. Memilah satu satu, dan menyodorkan halaman copy an yg ada tertempel visa Iran. 
“Ini visa Iran?... “iya” jawabku cepat dia, memperhatikan tanggal kunjunganku ke Iran, pikiranku berspekulasi, apakah Jepang akan sama seperti cerita Amerika menolak passport yg pernah masuk Iran?
“Ke Iran ngapain?.. … “jalan jalan sama foto di Persepolis” jawabku singkat, mencegah pertanyaan panjang tentang Iran. Berhasil, pertanyaan tentang Iran selesai. Dia mengambil lembar lain, stempelnya agak kabur, tapi masih bisa terbaca tulisan Sabiha Gochen. Dia mengarahkan jarinya pada stempel buram berbentuk bulat itu, “itu Turki, Istambul, aku menjawab sebelum dia bertanya, ku arahkan tunjukku pada stempel lain, tanpa diminta aku memberitahunya, “yang ini Georgia, Uni Eropa” jawabku, padahal ku tau Georgia belumlah resmi masuk UE. Selanjutnya Myanmar, Thailand dan berakhir di stempel Singapore, aku merasa menguasai keadaan sesaat, saat itu. Dia merapikan semua kertas itu dan mengannguk menatapku. 
Setelah semuanya selesai aku bertanya pada wanita di ujung telpon sana “jadi aku bagaimana?...
Wanita tersebut, wanita misterius bagiku, hanya suara tak Nampak badan berbicara beberapa saat dengan bapak itu, baru menjawab pertanyaanku, “kamu menunggu dulu, masih menunggu keputusan atasan” duaaar! Aku masih digantung juga tanpa jawaban, sebagaimana tulisan ini menggantung teman teman, sebagaimana saat kuliah dulu digantung gebetan yang kunyatakan cintaku, tapi lebih parah saat ini.
Wawancara ini berakhir, kami beranjak menuju ruang tempat ku pertama kali di kumpulkan. “bagaimana? Lolos?.. Tanya salah seorang dari 3 orang rombongan itu, “masih menunggu jawaban atasannya” jawabku. “kami langsung di vonis tadi? Aku hanya mengankat bahuku, isyarat tak tau kenapa aku belom di vonis juga. Dua orang dari mereka terlihat lelah, murung tak bersemangat tentunya. Salah seorang matanya memerah terlihat. Menangis? Entahlah….
Kami tenggelam dalam pikiran masing masing…
Ku kirim WA pada istriku, minta doanya, jawabannya bikin sakit perut. AKU SAKIT PERUT jawabnya singkat. PSIKOTROMATIS jawabnya lagi lewat whatapp. Perjalanan ke Jepang ini memang penuh drama, dari masalah visa bolak balik kirim dokumen, hingga salah kirim ke Jakarta, padahal seharusnya ke Denpasar, Konjen Jepang wilayah Bali dan Nusa Tenggara, aku memakai jasa agen utuk visa Jepang ini, hitunganku lebih murah dari pada pulang pergi, akomodasi dll ke Denpasar langsung. Tempat tinggalku di pedalaman kampung di Sumbawa Barat memerlukan biaya extra untuk bisa melihat dunia, berbeda dengan mereka yg tinggal di kota besar. Passport yg tertempel visa baru ku terima 4 hari sebelum keberangkatan. Sebulan sebelumnya aku sudah Tanya sana sini tentang Imigrasi Jepang ini, temanku bulan Juli baru pulang dari sana Mbak Tju member BI juga, kucecar trik melewati imigrasi. “santai saja, dandan yg rapi, meyakinkan, pasti lolos” itu saja?” Iya” jawabnya. Okky Miraza baru juga balik dari Jepang, pertanyaan sama tapi jawaban berbeda “gak usah rapi rapi, penampilan backpacker saja Om, saya sandal jepitan” dang! Triknya bertolak belakang.
Ku putuskan mengikuti trik pertama, kupakai kemeja terbaik yg pernah kumiliki, jean biru dan sepatu tracking, keduanya masuk, rapi ala backpacker. Tapi ternyata imigrasi tak tau itu, tak tau kalo kemeja yg kupake adalah yg terbaik, kena random ya kena, mereka punya hak absolute di sini.
Waktu adalah teman terbaik kesepian, sesaat setelah keluar pintu pesawat, aku sudah buat status di Wall pesbuk “Selamat Sore Osaka” dilengkapi foto foto bandara Osaka. Apa jadinya kalo hari ini aku gagal masuk Jepang, apa yang akan ku ceritakan di pesbuk? Entahlah, status itu tak lebih penting dari hal yg kualami sekarang.
Pintu kaca itu terbuka dan bapak itu muncul. “mana foto di US Singapore, tunjukkan padaku” bincangnya dengan inggris patah patah. Aku membuka gdrive, sinyal kencang, foto terpampang, ku berikan handphone padanya, dia mengusap jarinya pada layar hp memperhatikan foto foto yang lain, kuperhatikan kepalanya menggeleng pelan, bibirnya senyum tipis. Dia mengembalikan hp padaku, tangan kirinya menepuk bahuku, sebuah sentuhan penuh makna, kulihat layar hp ku masih menyala, disana terpampang foto selpihku dengan SPG MotoGP di Malaysia tahun lalu, aku tertawa…
Belum ada juga keputusan… masih menunggu….
Tak lama berselang bapak itu berdiri di pintu membawa pasportku di tangannya, dia menujukku, memintanya mengikuti, aku berdiri dan berjalan, kembali dia menunjuk tas backpackku yg berada dibawah meja, oh.. aku diminta membawa smua barangku… inikah akhirnya? Sukses?
Ku pamit pada tiga orang teman seruanganku, teman sepesawat tapi berbeda nasib, terdengar lirih mereka berkata “selamat ya mas” sebuah ucapan yg bagiku membutuhkan daya yg besar untuk diucapkan mengingat nasib mereka berbeda, tapi mereka masih bisa sempat mengucakan kata itu. Aku berterima kasih atas ucapan itu. Masih ku ingat sampe hari ini.
Ku ikuti bapak itu ke gate imigrasi, dia menempelkan kartu akses dan pintu terbuka, aku diantarnya dan diberikan passport. Ku bolak balik mencari stempel imigrasi tak ada disana, hanya stiker putih kecil, “where the stamp?... tanyaku, dia menyilangkan tangganya seperti huruf X, artinya tak ada, kertas itu cukup.
Inikah rasanya? Rasanya seperti adegan seorang narapidana bebas, menghirup udara segar. Ku berjalan menuju custom, dua antrian di depanku di Tanya barang bawaannya, giliranku ku serahkan form isian custom, dia menerima dan hanya bertanya dengan diam, menunjuk dua …
*****
Semakin banyaknya pelancong yang menyalahgunakan visa mereka untuk bekerja ilegal (OS) ataupun mengajukan visa suaka (pengungsi) menjadikan semakin ketatnya pemeriksaan keimigrasian oleh pemerintah Jepang. Semoga bermanfaat.
(Foto ilustrasi)
cerita dari grub sebelah

Comments